Minggu, 31 Januari 2010

NO. 4

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup bangsa dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Hal ini terbukti setelah kita analisis dari sudut justifikasi yuridik, filsafati dan teoritik serta sosiologik dan historik. Untuk, semakin jelaslah bahwa “Pancasila telah menjadi kesepakatan bangsa Indonesia” sejak berdirinya Negara (Proklamasi) Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.dan dan suatu perjanjian luhur yang memiliki legalitas, kebenaran dan merupakan.Berdasarkan sudut pandang justifikasi filsafati dan teoritik inilah bangsa Indonesia yang memiliki beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) mampu hidup berdampingan secara damai, rukun dan sejahtera dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika serta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

NO.5.

Persamaan

Perbedaan

Pancasila yang memiliki arti lima asas dasar untuk memberi nama pada lima prinsip dasar negara Indonesia yang diusulkan oleh mereka berdua dan itulah yang menjadi falsafah bangsa indonesia atau isi jiwa bangsa

Menurut M.YaminPancasila merupakan lima dasar yang berisi pedoman atau aturan tentang tingkah laku yang penting dan baik.sedangkan menurut Ir.Sukarno Pancasila tidak saja falsafah negara, tetapi lebih luas lagi, yakni falsafah bangsa Indonesia.

NO.3

.... Menurut penggagas awal (Ir. Soekarno), bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri dan dikristalisasikan dari nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan rakyat Indonesia yang beraneka ragam. Nilai-nilai tersebut dapat diamati pada kelompok masyarakat yang tersebar di seluruh Indonesia yang dalam implementasinya sangat disesuaikan dengan kultur masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, nampak jelas bahwa sesungguhnya Pancasila telah menjadi living reality (kehidupan nyata) jauh sebelum berdirinya negara republik Indonesia. Beberapa contoh nilai-nilai Pancasila yang telah berkemang di dalam kehidupan masyarakat.

... usaha manusia untuk mencari kebenaran Pancasila dari sudut olah pikir manusia, dari konstruksi nalar manusia secara logik. Pada umumnya olah pikir filsafati dimulai dengan suatu aksioma, yakni suatu kebenaran awal yang tidak perlu dibuktikan lagi, karena hal tersebut dipandang suatu kebenaran yang hakiki


NO 2.

BUNG KARNO:

PANCASILA ISI JIWA BANGSA INDONESIA (III)

Kursus ke-2 Tentang Pancasila Tanggal 16 Juni 1958 di Istana Negara

Datang saf lagi, saf zaman kita mengenal agama Islam, yang di dalam bidang politik berupa negara Demak Bintara, negara Pajang, negara Mataram kedua, dan seterusnya. Datang saf lagi, saf yang kita kontak dengan Eropa, yaitu saf imperialisme, yang di dalam bidang politiknya zaman hancur-leburnya negara kita, hancur-leburnya perekonomian kita, bahkan kita menjadi rakyat yang verpauveriseerd.

Jadi empat saf: saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, saf imperialis. Saya lantas gogo - gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting — sedalam-dalamnya sampai menembus zaman imperialis, menembus zaman Islam, menembus zaman Hindu, masuk ke dalam zaman pra-Hindu.

Jadi, saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Saya lantas berkata, kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat lndonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leitstar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu-padu.

Ambil misalnya hal sila yang per-tama, Ketuhanan. Salah satu karaktertrek(26) bangsa kita, corak, jiwa kita baik di zaman saf keempat, maupun saf ketiga, saf kedua, saf kesatu, bahwa bangsa lndonesia selalu hidup di dalam alam pemujaan dari sesuatu hal yang kepada hal itu ia menaruhkan segenap harapannya, kepercayaannya. Bangsa Indonesia pada umumnya — saya ulang-­ulangi pada umumnya — sebab sila-sila ini adalah grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud (27)

Jadi jangan kira tiap-tiap manusia Indonesia itu merasa ber­Ketuhanan, bahwa tiap-tiap orang Indonesia berkobar-kobar rasa kebangsaan-nya, bahwa tiap-tiap orang Indonesia menyala-nyala kalbunya dengan rasa kemanusiaan, tiap orang Indonesia berkedaulatan rakyat, berkeadilan soaial. Tidak! Tetapi sebagai

26 Tabiat khas. (bhs. Belanda).

27 Istilah bhs. Belanda untuk Pembagi Persekutuan Terbesar dan Kelipatan Persekutuan Terkecil.

Maksudnya: Hasil garis besar, sebagai keseluruhan

127

Keseluruhan — grootste gemene deler, kleinste gemene veelvoud ­saya menemukan lima corak ini. Ambillah kleinste gemene veelvoud, groot-ste gemene deler itulah. Het kan niet anders(28) daripada itu, kalau kita secara sosiologis sekarang ini meningkat ke taraf masyarakat Indonesia di dalam pertumbuhan.

Saya dengan tegas mengatakan, ini kupasan sosiologis yang akan saya berikan. Nanti saya akan tambahkan bukan hal-hal yang sosiologis, tetapi kenyataan. Sosiologisnya bagaimana? Het kan niet anders — tidak bisa lain — bangsa Indonesia ini hidup di dalam alam Ketuhanan. Di sana ada tempat permohonannya, tempat kepercayaan.

Mari lebih dahulu saya kupas secara sosiologis pertumbuhan masyarakat manusia dari zaman dulu sampai zaman sekarang. Manusia zaman dulu tidak sama dengan manusia zaman sekarang. Sekarang ada lampu listrik, ada sarung batik, ada kursi, ada selop, ada kacamata, ada kapal udara. Dulu tidak. Dulu manusia hidup di hutan-hutan, di gua­gua. Saya namakan itu fase pertama dari kehidupan manusia di dunia ini. Fase dari kehidupan manusia sebagai manusia. Sebab — dan ini tidak saya bicarakan lebih lanjut — apakah manusia itu berada di dunia itu sudah menjadi manusia, apakah manusia itu hasil dari evolusi. Saya cuma menceriterakan saja ada satu cabang ilmu pengetahuan, bahwa manusia itu adalah hasil dari evolusi. Bahwa tidak manusia itu begitu dilahirkan sudah satu manusia bemama Adam dan satu manusia bemama Eva, kemudian dari dua ini tumbuh manusia-manusia lain, tetapi manusia itu adalah hasil dari pertumbuhan. Mungkin uga dulu berupa een cellige wezens — sel yang satu. Kemudian evolusi, menjadi ongewervelde dieren.(29) Evolusi, menjadi semacam ikan-ikan. Evolusi lagi, binatang yang merayap, tetapi mempunyai kaki. Evolusi lagi, menjadi binatang yang memanjat di atas pohon. Lama-lama timbul yang dinamakan sayap. Lama-lama menjadi binatang yang bisa lari yang meloncat seperti kera. Kera yang merangkak dengan empat kaki menjadi berdiri di atas dua kaki.

Evolusi lagi, menjadi manusia yang seperti kita kenal sekarang ini.

Mula-mula hidup di dalam hutan dan gua. Evolusi, evolusi, menjadi manusia sekarang. Proses ini makan waktu beratus-ratus ribu tahun:

28 Tidak bisa la in (bhs. Belanda).

29 Hewan tidak bertulang punggung (bhs. Belanda).

1?R

PANCASILA BUNG KARNO

Di tanah air kita sendiri pada satu ketika terdapat salah satu bukti dari teori ini. Yaitu di dekat kota Ngawi, di desa Trinil, terdapat tulang-tulang dari makhluk yang demikian ini.

Nyata makhluk manusia, tetapi bentuk masih setengah gorila, tetapi ia sudah berjalan dengan dua kaki. Setengah monyet, tetapi sudah berrjalan dengan dua kaki. Maka karena itu dinamakan pithecanthropus erectus. Pithecus itu artinya monyet, anthropus artinya manusia. Tetapi ia berjalan dengan dua kaki, erectus. Pithecanthropus erectus yang ditaksir menurut ilmu biologi, batu yang membungkus tulang-tulang itu. Sebab tulang itu pada suatu hari mungkin terbenam — entah kena lahar, entah kena banjir, entah kena apa — katakanlah dalam lumpur. Lumpur ini makin lama makin keras, makin membatu, sehingga akhimya tulang ini terbungkus di dalam batu. Nah, ilmu biologi, ilmu batu, menentukan umur batu ini 550 ribu tahun. Jadi lebih dari setengah juta tahun. Dus tulang yang di dalam batu ini berasal dari zaman paling sedikit setengah juta tahun yang lalu.

Saya tinggalkan pertikaian dalam hal ini, dan saya mulai dengan cerita bahwa pada satu zaman manusia itu sudah sampai kepada tingkat berupa manusia. Bukan lagi pithecanthropus, tetapi sudah anthropus yang penuh. Cuma hidupnya dalam gua. ltu fase pertama hidup dalam gua, mencari penghidupan dengan memburu dan mencari ikan. Memburunya bukan dengan senjata Màuser atau Lee & Field. Tidak! Tetapi zaman dahulu dengan batu dan sepotong kayu. Cara hidupnya ini adalah penting sekali. Alam pikiran manusia di segala zaman itu dipengaruhi oleh cara hidupnya, oleh cara ia mencari makan dan minum. Pegang ini, dan jangan lupa akan stelling(30) ini: cara manusia mencari makan dan minum, mencari hidup, mempertahankan hidup, memelihara hidupnya, ini adalah penting sekali. Ia mempengaruhi alam pikirannya. Tingkat yang pertama ini adalah tingkat demikian. Hidup dalam gua-­gua, di bawah pohon-pohon, mencari makan dengan memburu dan mencari ikan.

Evolusi, pertumbuhan. Datanglah lambat laun tingkat yang kedua.

Jangan kira, tingkat yang kedua ini datangnya sekonyong-konyong. Tidak. lni adalah satu pertumbuhan yang evolusioner: Tingkat yang kedua ialah bahwa si manusia yang tadinya hidup dari perburuan dan mencari ikan,

30 Pendirian (bhs. Belanda).

129

mulai mengerti bahwa ternak bisa dipelihara. Tadinya ia memburu­memburu kijang, sapi hutan, kambing hutan dan lain sebagainya. Lambat laun timbul pengetahuan bahwa binatang-binatang itu bisa ditangkap, diikat, dikurung, anaknya dipelihara, bisa berkembang biak. Tingkat yang kedua ialah tingkat cara hidup manusia dengan terutama sekali — garis besarnya saja: grootste gemene deler dan kleinste gemene veelvoud –hidup dari peternakan, memelihara binatang.

Lambat laun, dengan pemeliharaan binatang ini — setelah ia meninggalkan adat kebiasaannya memburu dan kemudian menjadi peternak — ia agak lebih terikat kepada tempat, kepada ternaknya. Ia harus memberi makan kepada ternak itu. Bukan saja memberi makan kepada diri sendiri yang berupa daging, tapi ia juga harus memberi makan kepada ternaknya. Lama-lama ia tahu bahwa inakanan yang ia perlukan sendiri dan yang ia berikan kepada binatang itu, bisa pula dicocoktanamkan, bisa ditanam. Dulu, kalau ia perlu buah-buahan, ia pergi ambil di hutan. Ketemu jagung di hutan, ambil jagung. Baginya biasa, tanaman begini ini buahnya bisa dimakan. Berjumpa padi di rawa-rawa, tapi padi liar. Ia mengetahui — biasa baginya — bahwa buahnya dapat dimakan dan dapat pula diberikan kepada ternaknya. Tetapi lambat-laun ia berpengalaman, bahwa tanaman pun bisa ditanam. Tumbuh­tumbuhan yang berupa jagung, padi, gandum, buah-buahan bisa ditanam.

Dan terutama sekali, Saudara-saudara, ini adalah tingkat yang ketiga, cara hidup dari pertanian terutama sekali. Di sini kita pantas memberi salut kepada wanita. Wanitalah makhluk pertama yang mengusahakan tanaman ini. Bukan karena menganggurnya, tetapi merasa harus. la melihat bahwa biji jagung yang tidak termakan, tumbuh, dan ia melihat kalau biji jagung ini ditanam lebih dalam, dan tanahnya dikorek-korek, menjadi lebih subur dan bisa berbuah. Demikian biji padi dan juga tanam-tanaman yang lain. Salah satu jasa dari wanita ialah: dialah yang pertama kali memperoleh ilmu pertanian. Sebagaimana juga sebenarnya wanita yang pertama kali mendapatkan ilmu menjahit, membikin pakaian. Wanita yang di rumah, melihat anaknya kedinginan, ditutup badan anaknya itu dengan kulit binatang. Lama-lama ia berpikir: kalau kulit binatang

130

PANCASILA BUNG KARNO

yang satu ini disambung dengan kulit binatang yang lain — barangkali dengan tulang ikan yang tajam dan serat atau akar. Dan begitulah timbul ilmu menjahit oleh wanita. Susu ternak, darah — zaman dahulu itu orang masih makan darah — harus dikumpulkan. Wanitalah yang pertama-tama menemukan tempat untuk susu atau darah itu, dari buah labu yang tua dikorek-korek. Atau untuk tempat biji-biji yang dikumpulkan dari hutan-hutan. Wanitalah yang pertama kali mempunyai begrip(31) wadah. Bahkan — karena barangkali tidak ada buah labu — wanita yang menggali tanah liat, dibentuknya dengan cara yang amat primitif, akhirnya menjadi semacam periuk.

Wanita yang pertama kali membuat apa yang kita namakan rumah. Belum rumah seperti sekarang, meskipun rumah desa pun. Sangat sederhana. Wanita yang ditinggalkan suaminya ke hutan atau menggembala, tinggal dengan anaknya. Hujan. Kemudian timbul pikiran menyusun daun-daun pisang atau lainnya untuk bernaung di bawahnya. Begrip pertama dari atap. Jadi wanita adalah makhluk yang pertama yang mendapatkan apa yang di-namakan civilization, peradaban.

Wanita yang membuat periuk, wanita yang menjahit kulit, wanita yang menganyam serat menjadi tenunan kasar, wanita yang bercocok tanam mula-mula.

Ini tingkat yang ketiga, cocok tanam. Si laki lama-lama melihat bahwa jagung, padi, bisa ditanam. Lama-lama si laki pun mening­galkan cara hidup beternak, capek selalu mencari tempat penggem­balaan. Lantas ia menetap juga. Perkataan menetap. Dulu tatkala ia masih hidup memburu, tidak menetap, selalu berpindah-pindah, nomade. Tatkala ia beternak pun — tingkat yang kedua — tidak mene­tap, berpindah-pindah mencari makanan untuk ternaknya, nomade. Tetapi ketika pertanian diterima oleh wanita dan juga oleh lelaki­ dus manusia cara hidupnya terutama sekali dari pertanian — manusia lantas meninggalkan cara hidup nomadisch, menjadi orang-orang yang menetap.

NO .1

Kenyataan mengenai isi pidato serta usul tertulis mengenai Rancangan UUD yang dikemukakan oleh Muhammad Yamin itu dapatlah meyakinkan kita bahwa Pancasila tidaklah lahir pada tanggal 1 Juni 1945 karena pada tanggal 29 Mei 1945 Muhammad Yamin telah mengucapkan pidato serta menyampaikan usul rancangan UUD Negara Republik Indonesia yang berisi lima azas dasar Negara. Bahkan lebih dari itu, perumusan dan sistematik yang dikemukakan oleh Mr. Muh Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 itu hampir sama dengan Pancasila yang sekarang ini (Pembukaan UUD 1945). Tiga sila yakni : Sila pertama, keempat, dan kelima baik perumusan maupun tempatnya sama dengan Pancasila yang sekarang. Perbedaannya adalah pada sila kedua dan ketiga, yang di dalam sistematik usul Muhammad Yamin berbalikan dengan sistematik yang ada pada Pancasila sekarang. Selain itu perumusan kedua Sila itupun ada sedikit perbedaan, yaitu digunakannya kata “Kebangsaan” pada sila “Kebangsaan Persatuan Indonesia”, dan digunakannya kata “Rasa” pada sila “Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kedua kata tersebut diatas yakni kata “Kebangsaan” dan “Rasa”, sebagaimana diketahui di dalam Pancasila yang sekarang tidak terdapat.

b. Ir. Soekarno (1 Juni 1945)
Pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno mengucapkan pidatonya di hadapan sidang hari ketiga Badan Penyelidik. Dalam pidato itu dikemukakan/diusulkan juga lima hal untuk menjadi dasar-dasar Negara Merdeka yang perumusan serta sistematikanya sebagai berikut :
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhan yang berkebudayaan

Untuk lima dasar Negara oleh beliau diusulkan pula agar diberi nama Pancasila. Dikatakannya bahwa nama ini berasal dari seorang ahli bahasa kawan beliau tetapi tidak dikatakannya siapa. Usul mengenai nama Pancasila ini kemudian diterima oleh sidang.

Jika perumusan dan sistematik yang dikemukakan/diusulkan oleh Ir. Soekarno itu kita bandingkan dengan Pancasila yang sekarang, nyata sekali bahwa perumusan dan sitematik Ir. Soekarno itu lain dari perumusan dan sistematik Pancasila yang sekarang.

Sistematik yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno itu merupakan hasil pemikiran atas dasar “denk methode historisch materiliasme”. Dengan pola berpikir yang dialektis ini maka azas kebangsaan Indonesia atau Nasionalisme dihadapkan dengan azas Internasionalisme atau perikemanusiaan dan menjadi “Sosio – Nasionalisme”. Selanjutnya azas muakat atau Demokrasi dalam hal ini demokrasi politik dihadapkan dengan azas kesejahteraan social yakni demokrasi ekonomi dan menjadi “Sosio – Demokrasi”.

Kemudian “Sosio – Nasionalisme”, “Sosio _ Demokrasi” dan “Ke – Tuhanan” itu disebut Trisila yang dikatakannya sebagai perasaan dari lima sila. Trisila ini kemudian diperas lagi menjadi ekasila yakni “Gotong Royong”. Dengan demikian kiranya dapat dimengerti bahwa beliau tidak menggunakan cara berpikir filosofis dan religius ini.

Pada tahun 1947, pidato Ir. Soekarno 1 Juni 1945 diterbitkan/dipublikasikan dengan nama “Lahirnya Pancasila” kemudian menjadi popular dalam masyarakat bahwa Pancasila adalah nama dari Dasar Negara kita meskipun bunyi rumusan dan sistematika serta metode berpikir antara usul Dasar Negara 1 Juni 1945 tidak sama dengan Dasar Negara yang disahkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.

Pada tahun 1958 dan 1959 Presiden Soekarno memberikan kursus-kursus dan kuliah umum di istana Negara Jakarta dan Yogyakarta yang pada tanggal 1 Juni 1964 dibukukan dengan judul “Tjamkan Pantja-Sila !”. Pada tanggal 17 Agustus 1959 diucapkan pidato Presiden Soekarno yang kemudian menjadi MANIPOL. Pda waktu itu MANIPOL dianggap sebagai pengamalan dari Pancasila dengan “Nasakom” dan “Lima Azimat Revolusi”. Kemudian meletuslah pengkhiatanatan G 30 S/PKI tanggal 1 Oktober 1965.

Setelah meletusnya G 30 S/PKI pada tahun 1965 tidak hanya Soekarno yang harus “diselesaikan” dan “dipendem jero”. Dengan melalui segala cara dilakukan upaya untuk menghapuskan nama Soekarno dalam kaitannya dengan Pancasila. Misalnya dinyatakannya tanggal 18 Agustus 1945 sebagai hari lahir Pancasila bukan 1 Juni 1945. Demikian juga disebutkan konsep utama Pancasila berasal dari Muhammad Yamin yang lebih dahulu berpidato daripada Soekarno. Tetapi kebenaran tidak bisa ditutupi untuk selamanya. Ketika pemerintah Belanda menyerahkan dokumen-dokumen asli BPUPKI terbuktilah bahwa pidato Muhammad Yamin tidak terdapat didalamnya. Dengan demikian gugur lah teori bahwa Muhammad Yamin adalah konseptor Pancasila. Maka polemic mengenai Pancasila pun berakhir dengan sendirinya tetapi sebagai akibat akumulatif dari polemik Pancasila akhirnya orang menjadi skeptis terhadap Pancasila, kabur pemahaman dan pengertian-pengertiannya dan menjadi tidak yakin akan kebenarannya.

Tanggal 1 Oktober 1965 dinyatakan sebagai “Tonggak Demokrasi Orde Baru” dan selanjutnya diperingati sebagai “Hari Kesaktian Pancasila”. Berdasarkan Radiogram Sekretaris Negara Mayjen TNI Alam Syah sejak tahun 1970 hingga sekarang tanggal 1 Juni tidak lagi diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila.